Ungkapan Jujur dari Seorang Anak, Renungan Untuk Para Orang Tua yang Kurang Memahami Anaknya
Kisah
ini banyak beredar di social media. Seperti yang dilansir dari sayangianak.com
terlepas kisah fiktif atau nyata dari cerita ini, tapi sangat bisa menjadi
bahan renungan para orang tua. Berikut kisahnya:
Tahun 2005 yang lalu saya harus
mondar-mandir ke SD tempat sekolah anak kami. Anak sulung kami yang bernama
Dika, duduk di kelas 4 di SD itu. Waktu itu saya memang harus berurusan dengan
wali kelas dan kepala sekolah.
Pasalnya menurut observasi wali
kelas dan kepala sekolah, Dika yang duduk di kelas unggulan, tempat penggemblengan
anak-anak berprestasi itu, waktu itu justru tercatat sebagai anak yang
bermasalah. Saat saya tanyakan apa masalah Dika, guru dan kepala sekolah justru
menanyakan apa yang terjadi di rumah sehingga anak tersebut selalu murung dan
menghabiskan sebagian besar waktu belajar di kelas hanya untuk melamun.
Prestasinya kian lama kian merosot.
Dengan lemah lembut saya tanyakan kepada Dika, “Apa yang kamu
inginkan?” Dika hanya menggeleng.
“Kamu ingin ibu bersikap seperti apa?,” tanya saya. “Biasa-biasa
saja,” jawab Dika singkat.
Beberapa kali saya berdiskusi dengan wali kelas dan kepala
sekolah untuk mencari pemecahannya, namun sudah sekian lama tak ada kemajuan.
Akhirnya kamipun sepakat untuk meminta bantuan seorang psikolog.
Suatu pagi, atas seijin kepala sekolah, Dika meninggalkan
sekolah untuk menjalani test IQ. Tanpa persiapan apapun, Dika menyelesaikan
soal demi soal dalam hitungan menit. Beberapa saat kemudian, Psikolog yang
tampil bersahaja namun penuh keramahan itu segera memberitahukan hasil testnya.
Angka kecerdasan rata-rata anak saya mencapai 147 (sangat
cerdas) di mana skor untuk aspek-aspek kemampuan pemahaman ruang, abstraksi,
bahasa, ilmu pasti, penalaran, ketelitian dan kecepatan berkisar pada angka 140
– 160. Namun ada satu kejanggalan, yaitu skor untuk kemampuan verbalnya tidak
lebih dari 115 (rata-rata cerdas).
Perbedaan yang mencolok pada 2 tingkat kecerdasan yang berbeda
itulah yang menurut psikolog, perlu dilakukan pendalaman lebih lanjut. Oleh
sebab itu psikolog itu dengan santun menyarankan saya untuk mengantar Dika
kembali ke tempat itu seminggu lagi. Menurutnya Dika perlu menjalani test
kepribadian.
Suatu sore, saya menyempatkan diri mengantar Dika kembali
mengikuti serangkaian test kepribadian. Melalui interview dan test tertulis
yang dilakukan, setidaknya psikolog itu telah menarik benang merah yang
menurutnya menjadi salah satu atau beberapa faktor penghambat kemampuan verbal
Dika.
Setidaknya saya bisa membaca jeritan hati kecil Dika. Jawaban
yang jujur dari hati Dika yang paling dalam itu membuat saya berkaca diri,
melihat wajah seorang ibu yang masih jauh dari ideal.
KETIKA PSIKOLOG ITU MENULISKAN PERTANYAAN “AKU INGIN IBUKU :….”
Dika pun menjawab, “Membiarkan
aku bermain sesuka hatiku, sebentar saja.”
Dengan beberapa pertanyaan pendalaman, terungkap bahwa selama
ini saya kurang memberi kesempatan kepada Dika untuk bermain bebas. Waktu itu
saya berpikir bahwa banyak ragam permainan-permainan edukatif sehingga saya
merasa perlu menjadwalkan kapan waktunya menggambar, kapan waktunya bermain
puzzle, kapan waktunya bermain basket, kapan waktunya membaca buku cerita,
kapan waktunya main game di komputer dan sebagainya. Waktu itu saya berpikir
bahwa demi kebaikan dan demi masa depannya, Dika perlu menikmati
permainan-permainan secara merata di sela-sela waktu luangnya yang memang
tinggal sedikit karena sebagian besar telah dihabiskan untuk sekolah dan
mengikuti berbagai kursus di luar sekolah. Saya selalu pusing memikirkan jadwal
kegiatan Dika yang begitu rumit. Tetapi ternyata permintaan Dika hanya
sederhana, diberi kebebasan bermain sesuka hatinya, menikmati masa
kanak-kanaknya.
KETIKA PSIKOLOG MENYODORKAN KERTAS BERTULISKAN “AKU INGIN AYAHKU …”
Dika pun menjawab dengan
kalimat yang berantakan namun kira-kira artinya “Aku ingin ayahku melakukan apa
saja seperti dia menuntutku melakukan sesuatu”.
Melalui beberapa pertanyaan pendalaman, terungkap bahwa Dika
tidak mau diajari atau disuruh, apalagi diperintah untuk melakukan ini dan itu.
Ia hanya ingin melihat ayahnya melakukan apa saja setiap hari, seperti apa yang
diperintahkan kepada Dika. Dika ingin ayahnya bangun pagi-pagi kemudian
membereskan tempat tidurnya sendiri, makan dan minum tanpa harus dilayani orang
lain, menonton TV secukupnya, merapikan sendiri koran yang habis dibacanya dan
tidur tepat waktu. Sederhana memang, tetapi hal-hal seperti itu justru sulit
dilakukan oleh kebanyakan orang tua.
KETIKA PSIKOLOG MENGAJUKAN PERTANYAAN “AKU INGIN IBUKU TIDAK …”
Maka Dika menjawab,
“Menganggapku seperti dirinya.”
Dalam banyak hal saya merasa bahwa pengalaman hidup saya yang
suka bekerja keras, disiplin, hemat, gigih untuk mencapai sesuatu yang saya
inginkan itu merupakan sikap yang paling baik dan bijaksana. Hampir-hampir saya
ingin menjadikan Dika persis seperti diri saya. Saya dan banyak orang tua
lainnya seringkali ingin menjadikan anak sebagai foto copy diri kita atau
bahkan beranggapan bahwa anak adalah orang dewasa dalam bentuk sachet kecil.
KETIKA PSIKOLOG MEMBERIKAN PERTANYAAN “AKU INGIN AYAHKU TIDAK….”
Dika pun menjawab, “Tidak
menyalahkan aku di depan orang lain. Tidak mengatakan bahwa kesalahan-kesalahan
kecil yang aku buat adalah dosa.”
Tanpa disadari, orangtua sering
menuntut anak untuk selalu bersikap dan bertindak benar, hingga hampir-hampir
tak memberi tempat kepadanya untuk berbuat kesalahan. Bila orangtua menganggap
bahwa setiap kesalahan adalah dosa yang harus diganjar dengan hukuman, maka
anakpun akan memilih untuk berbohong dan tidak mau mengakui kesalahan yang
telah dibuatnya dengan jujur. Kesulitan baru akan muncul karena orangtua tidak
tahu kesalahan apa yang telah dibuat anak, sehingga tidak tahu tindakan apa
yang harus kami lakukan untuk mencegah atau menghentikannya.
Saya menjadi sadar bahwa ada kalanya anak-anak perlu diberi
kesempatan untuk berbuat salah, kemudian iapun bisa belajar dari kesalahannya.
Konsekuensi dari sikap dan tindakannya yang salah adakalanya bisa menjadi
pelajaran berharga supaya di waktu-waktu mendatang tidak membuat kesalahan yang
serupa.
KETIKA PSIKOLOG ITU MENULISKAN “AKU INGIN IBUKU BERBICARA TENTANG …..”
Dika pun menjawab, “Berbicara
tentang hal-hal yang penting saja”.
Saya cukup kaget karena waktu itu saya justru menggunakan
kesempatan yang sangat sempit, sekembalinya dari kantor untuk membahas hal-hal
yang menurut saya penting, seperti menanyakan pelajaran dan PR yang diberikan
gurunya. Namun ternyata hal-hal yang menurut saya penting, bukanlah sesuatu
yang penting untuk anak saya. Dengan jawaban Dika yang polos dan jujur itu saya
diingatkan bahwa kecerdasan tidak lebih penting dari pada hikmat dan pengenalan
akan Tuhan. Pengajaran tentang kasih tidak kalah pentingnya dengan ilmu
pengetahuan.
ATAS PERTANYAAN “AKU INGIN AYAHKU BERBICARA TENTANG …..”,
Dika pun menuliskan, “Aku ingin
ayahku berbicara tentang kesalahan-kesalahannya. Aku ingin ayahku tidak selalu
merasa benar, paling hebat dan tidak pernah berbuat salah. Aku ingin ayahku
mengakui kesalahannya dan meminta maaf kepadaku.”
Memang dalam banyak hal, orangtua berbuat benar tetapi sebagai
manusia, orangtua tak luput dari kesalahan. Keinginan Dika sebenarnya
sederhana, yaitu ingin orangtuanya sportif, mau mengakui kesalahnya dan kalau
perlu meminta maaf atas kesalahannya, seperti apa yang diajarkan orang tua
kepadanya.
KETIKA PSIKOLOG MENYODORKAN TULISAN “AKU INGIN IBUKU SETIAP HARI …..”
Dika berpikir sejenak, kemudian
mencoretkan penanya dengan lancar, “Aku ingin ibuku mencium dan memelukku
erat-erat seperti ia mencium dan memeluk adikku”.
Memang adakalanya saya berpikir bahwa Dika yang hampir setinggi
saya sudah tidak pantas lagi dipeluk-peluk, apalagi dicium-cium. Ternyata saya
salah, pelukan hangat dan ciuman sayang seorang ibu tetap dibutuhkan supaya
hari-harinya terasa lebih indah. Waktu itu saya tidak menyadari bahwa
perlakukan orang tua yang tidak sama kepada anak-anaknya seringkali oleh
anak-anak diterjemahkan sebagai tindakan yang tidak adil atau pilih kasih.
SECARIK KERTAS YANG BERISI PERTANYAAN “AKU INGIN AYAHKU SETIAP HARI….”
Dika menuliskan sebuah kata
tepat di atas titik-titik dengan satu kata, “Tersenyum.”
Sederhana memang, tetapi seringkali seorang ayah merasa perlu
menahan senyumannya demi mempertahankan wibawanya. Padahal senyum tulus seorang
ayah sedikitpun tidak akan melunturkan wibawanya, tetapi justru bisa menambah
simpati dan energi bagi anak-anak dalam melakukan segala sesuatu seperti yang
ia lihat dari ayahnya setiap hari.
KETIKA PSIKOLOG MEMBERIKAN KERTAS YANG BERTULISKAN “AKU INGIN IBUKU MEMANGGILKU. …”
Dika pun menuliskan, “Aku ingin
ibuku memanggilku dengan nama yang bagus”
Saya tersentak sekali! Memang sebelum ia lahir kami telah
memilih nama yang paling bagus dan penuh arti, yaitu Judika Ekaristi Kurniawan.
Namun sayang, tanpa sadar, saya selalu memanggilnya dengan sebutan Nang. Nang
dalam Bahasa Jawa diambil dari kata “Lanang” yang berarti laki-laki.
KETIKA PSIKOLOG MENYODORKAN TULISAN YANG BERBUNYI “AKU INGIN AYAHKU MEMANGGILKU ..”
Dika hanya menuliskan 2 kata
saja, yaitu “Nama Asli”.
Selama ini suami saya memang memanggil Dika dengan sebutan
“Paijo” karena sehari-hari Dika berbicara dalam bahasa Indonesia atau bahasa
Sunda dengan logat Jawa medok. “Persis Paijo, tukang sayur keliling,” kata
suami saya.
Atas jawaban-jawaban Dika yang polos dan jujur itu, saya menjadi
malu karena selama ini saya bekerja di sebuah lembaga yang membela dan
memperjuangkan hak-hak anak. Kepada banyak orang saya kampanyekan pentingnya
penghormatan hak-hak anak sesuai dengan Konvensi Hak-Hak Anak Sedunia. Kepada
khalayak ramai saya bagikan poster bertuliskan “To Respect Child Rights is an
Obligation, not a Choice”, sebuah seruan yang mengingatkan bahwa “Menghormati
Hak Anak adalah Kewajiban, bukan Pilihan”.
Tanpa saya sadari, saya telah melanggar hak anak saya karena
telah memanggilnya dengan panggilan yang tidak hormat dan bermartabat. Dalam
diamnya anak, dalam senyum anak yang polos dan dalam tingkah polah anak yang
membuat orang tua kadang-kadang bangga dan juga kadang-kadang jengkel, ternyata
ada banyak Pesan Yang Tak Terucapkan.
Seandainya semua ayah mengasihi anak-anaknya, maka tidak ada
satupun anak yang kecewa atau marah kepada ayahnya. Anak-anak memang harus
diajarkan untuk menghormati ayah dan ibunya, tetapi para orang tua tidak boleh
membangkitkan amarah di dalam hati anak-anaknya. Para orangtua harus mendidik
anaknya di dalam ajaran dan nasehat yang baik. Semoga bermanfaat bagi kita
semua, para orang tua dari putra/putri kita masing-masing.
Comments
Post a Comment